Kalau mendengar atau membaca tentang kata 'hostel', penggemar film pasti akan langsung
teringat dengan karya Eli Roth yang sangat gory
begitu membaca judul di atas. Who can
blame them, kata hostel boleh dibilang sudah terlanjur dipopulerkan film
tersebut. Saking populernya, film ber-setting hostel yang sarat kekerasan dan
berdarah-darah ini sampai dibuat tiga sequel.
Dan layaknya semua traveller di
dunia, saya pribadi tidak terlepas dari pengalaman menginap di hotel maupun
hostel. Tapi tenang, cerita saya sama sekali tidak ada yang mengandung unsur
kekerasan, apalagi darah. Jadi dijamin lulus sensor dan layak baca bagi segala
kalangan, mulai dari balita yang sudah melek huruf dan bisa baca sampai ke kaum
lansia yang butuh hiburan.
Meskipun
mengaku citizen of the world (atau
paling tidak ingin merasa begitu), pengalaman travelling saya belum terlalu banyak. Tapi dari sedikit pengalaman
jalan-jalan ini, ada lah yang bisa saya bagikan kepada pembaca sekalian yang
budiman. Siapa tahu dapat memberikan sedikit pencerahan dan inspirasi. So buckle up, fasten your seatbelt, and
enjoy the ride...
Jakarta
Saya pernah merasakan menginap di sebuah
hotel bintang lima di Jakarta yang berstandar internasional. Kalau kamu menduga
saya termasuk kaum borju yang punya
banyak uang sehingga bisa nginap di hotel seperti ini, you are wrong. Saya bisa menginap di sana karena ada family yang
mendapatkan voucher menginap gratis di hotel tersebut. Di masa-masa indah
kuliah tersebut, jangankan menginap di hotel, uang sewa kost saja terkadang
masih nunggak yang membuat saya jadi anak kesayangan ibu kost karena sering
dipanggil untuk menghadap. Ok, you get my
point. Tidak perlu masuk ke sesi curhat kilas balik ke jaman “makan pagi
bersama mie instant” yang tak terlupakan. Saya yakin kalian semua juga tidak
akan tertarik untuk membaca kisah gak penting mahasiswa kere. By the way, saya sudah bilang belum
kalau selain mie, dulu menu makan favorit saya adalah nasi setengah porsi berhiaskan
tempe plus kuah (kuahnya saja, gak pakai isi)? Lho, kok jadi berlanjut
curhatnya?? Enough is enough! Back to our
hotel story...
Hotel ini sangat bagus
dengan segala fasilitas lengkap yang dijamin akan memanjakan semua patron yang menginap. Saking lengkapnya,
di dalam kamar kami juga ada fitur sound
system yang membuat saya terjaga semalaman. Yang disajikan waktu itu bukan
musik instrumental klasik karya para maestro seperti Mozart atau Beethoven yang
sangat inspirasional. Bukan pula lagu-lagu hits populer yang saking catchy nya membuat para pendengar terbawa
suasana dan ikut berdendang. Yang saya maksud adalah suara alamiah yang
diproduksi oleh pita suara manusia. Jadi begini ceritanya, waktu itu saya dan
family keroyokan dalam satu kamar yang meskipun ukuran tempat tidurnya king size terasa seperti kamar kost saya
karena kelebihan muatan. Nah, kebetulan salah satu peserta family gathering ini adalah seorang baby sitter. Saya tidak tahu apakah sang suster ini kecapean atau
bagaimana, tapi yang jelas waktu tidur beliau mengeluarkan suara dengkuran yang
sangat mumpuni. Berhubung saya tidak membawa alat pengukur waktu itu, tidak
jelas berapa desibel kekuatannya. Yang pasti menurut hemat saya bisa
dikategorikan polusi suara. Tapi yang ajaib, balita yang tidur di sebelahnya
sama sekali tidak terganggu dan tertidur pulas!
Tips:
Bring
your earplug! Selama ini saya mungkin menganggap
mereka yang membawa perlengkapan tidur seperti penutup telinga dan mata
bersikap berlebihan dan overacting.
Tapi pengalaman berharga ini membuka mata saya bahwa maybe they have a point. Apalagi kalau travelling ramai-ramai
dengan rekan traveller yang belum begitu dikenal dan keadaan menyebabkan harus
share kamar tidur. Daripada menyesal setelah terlambat mengetahui “bakat” tidur
sesama rekan perjalanan, mendingan persiapkan diri. Gak punya earplug? Your earphone will do! Pilih mana? Dengerin MP3 favorit menjelang
tidur atau gelegar Krakatau?
Malang
Saya tidak tahu tempat penginapan di
Malang ini dikategorikan hotel atau hostel waktu itu. Tapi setelah kilas balik
sekarang, mungkin tidak termasuk dua-duanya. Kesan pertama ketika sampai di
tempat penginapan ini sudah ‘enggak
banget’. Dari pengamatan saya sih, kelihatannya tempat ini dulunya adalah
bekas rumah sakit dari jaman Belanda. Bercat putih kusam dengan langit-langit
tinggi dan bangsal-bangsal luas, belum masuk saja saya sudah merinding. Kenapa
bisa menginap di tempat seperti ini? Well...waktu
itu saya dan teman-teman ikut tour murah ke Bali yang singgah menginap semalam
di Malang. Jadi kalau kamu pernah dengar tagline
“murah meriah”, let me tell you
now...that’s a bunch of bullsh*t! (excuse my French).
Tapi
murah juga ada sisi positifnya. Karena murah, satu kamar di share ramai-ramai
oleh beberapa orang. Gak kebayang deh kalau harus tidur sendiri di tempat
seperti ini. Mungkin kamu yang merasa macho
man akan geli dan mencemooh. Tapi asal tahu saja, teman-teman saya yang
selama ini merasa cowok paling jantan di dunia pun sampai berebut tempat tidur.
Tidak ada yang mau tidur terlalu dekat dengan pintu kamar. Mungkin takut tengah
malam ada yang ngetuk pintu atau malah langsung masuk tanpa permisi J
Sajian pelengkap di kamar kami adalah WC nya yang unik. Memang tidak terlalu
kotor, dan airnya masih layak mandi. Tapi yang spesial...pintu WC ini bagian
atasnya menggunakan kaca, dan saya tidak tahu apakah disengaja atau tidak,
bagian kaca ini tidak utuh lagi alias pecah. Dengan kata lain, orang di dalam
WC bisa dengan leluasa melihat keluar dan begitu juga sebaliknya. What a world class design!
Tapi
paling tidak kamar kami letaknya di bagian depan tempat penginapan. Ada
kelompok cewek yang kebagian kamar di area belakang. And you know what, bahkan sebelum jam dinding menunjukkan jam 12
malam saja sudah ada kejadian kerasukan!
Tips:
NEVER
EVER GO FOR A CHEAP TOUR! Mendingan kamu lama sedikit
menabung dan ikut tour yang lebih bonafit. Atau lebih ok lagi, jadi independent traveller dan jalan-jalan
sendiri. Sekarang sudah jamannnya TripAdvisor, riset dulu sebelum memutuskan
untuk booking hotel tertentu. Memang hotel/hostel hanya untuk numpang tidur,
tapi kalau sekedar istirahatpun tidak bisa dilakukan karena salah milih tempat
dan kamu mengalami hal seperti yang saya ceritakan di atas, well...good luck deh! J
Bali
Saya pernah mengunjungi Bali dua kali dengan
“hostel experience” yang meskipun berbeda tapi sangat bersaing dari segi kesan
dan pengalaman yang didapat. Yang pertama, merupakan sequel atau kelanjutan dari kisah ‘One Night of Horror in Malang’. Tour de Bali kami akhirnya sampai
juga di tujuan. Tempat penginapan kami di sini yang super budget diberi label “losmen”. Kamar kami berisi dua buah king size bed yang terbuat dari kayu
dengan matras dari kapuk. Menurut rencana (yang sebenarnya sama pastinya dengan
matahari terbit di sebelah timur) saya dan tiga orang teman akan menjadi
penghuni kamar ini. Jadi kami berempat akan memperoleh kesempatan berharga untuk
mengakrabkan diri di kamar yang meskipun tidak terlalu kecil, sumpek dan panas
karena design ventilasi yang kurang bersahabat. Fakta bahwa hanya ada satu buah
kipas angin kecil untuk mendinginkan suasana sama sekali tidak menolong.
Pokoknya bakal jadi malam yang basah...dengan keringat (buat yang mikir hal
lain, get your head out of the gutter!)
Tapi
itu belum puncaknya. Highlight dari
“losmen experience” ini adalah ketika kami melakukan tour singkat ke WC. Sama
seperti yang di Malang, WC kamar kami tidak terlalu kotor dan cukup layak. Dan
sama juga seperti yang di Malang, ada bagian WC yang terbuat dari kaca.
Bukan...kali ini bukan di bagian pintu, tapi di bagian dinding sebelah luar.
Dan bukan sulap bukan sihir, bagian kaca ini juga pecah!!! Kalau kamu kesulitan
membayangkan, simple nya begini. Losmen ini terdiri dari deretan kamar satu
lantai yang di depannya merupakan jalan setapak yang menjadi akses utama
losmen. WC nya terletak di sebelah kanan kamar, dengan dinding luar WC
menghadap ke jalan setapak.
Kesimpulan:
setiap kali kami mandi atau melakukan aktifitas manusiawi lainnya, dengan
sedikit usaha, penghuni losmen lain yang kebetulan lewat di depan kamar kami
bisa melihatnya secara LIVE! Unrated and
uncensored! Ok, saya gak mau sombong dan bilang kalau yang nekat ngintip
akan terhibur, tapi tetap saja fakta ini merugikan! Tapi mungkin karena dari
awal keberangkatan tour sudah disajikan dengan hal-hal yang konsisten mengecewakan,
gak ada dari kami yang mau complain
ke pengurus tour. Toh resiko terburuknya bukan ditanggung kami sebagai pihak
yang mempertontonkan, tapi potensi trauma seumur hidup bagi yang melihat...
Pengalaman hotel kedua
di Bali. Kali ini saya berlibur bersama keluarga. Kesan pertama saya, not bad. Dengan harga yang relatif
murah, hotel yang bergaya vila ini bahkan punya kolam renang kecil. Seluruh
kamar terisi penuh, dan kami kebagian kamar di lantai dua yang tidak ber-AC.
Setelah malam pertama yang terasa seperti di sauna, untuk malam berikutnya kami
memutuskan untuk coba pindah ke kamar yang ber-AC. Ternyata kebetulan ada
penghuni yang check out dari sebuah
kamar yang cukup besar di lantai dasar, lengkap dengan ruang tamu dan dapur. Kamipun
bergegas pindah ke kamar baru ini, yang disambut dengan pintu kamar yang agak
macet kuncinya. Ok, no big deal.
Setelah lelah jalan-jalan di hari kedua kami di Bali, rasanya tidak ada yang
lebih nikmat daripada istirahat di kamar luas ber-AC. Kesan pertama ketika
memasuki kamar ini biasa saja. Tapi gak tahu dari mana asalnya, mendadak
sayup-sayup terdengar suara binatang yang membuat bulu kuduk berdiri. Kami
mencoba mencari tahu lokasi sumber suara tapi tidak sukses. Dan tidak tahu
kenapa, semakin lama kami berada di kamar itu, aura yang dirasakan semakin
tidak enak. Akhirnya kami mengikuti intuisi dan memutuskan untuk batal menginap
di kamar ini, tapi pindah kembali ke “kamar sauna” di lantai dua. Mendingan
keluar keringat panas daripada keringat dingin!!
Tips:
Sekali lagi, kalau jalan-jalan ikut
tour, pilihlah tour yang bagus dan sedapat mungkin cari tahu tentang hotel yang
dipakai untuk menginap. Kalau jalan-jalan sendiri, baca review orang-orang yang
sudah pernah menginap di hotel tersebut di internet untuk mendapatkan sedikit
gambaran. Do your homework, or you’ll
regret it later!
Gold
Coast - Australia
Sekarang mari kita sedikit melalang
buana ke manca negara. Waktu itu saya jalan-jalan sendiri di Australia. Untuk
menghemat biaya perjalanan, saya memutuskan untuk menginap di sebuah hostel
backpacker. Supaya liburan saya tidak terlalu terkesan seperti sedang di kamp
pengungsian, saya memilih kamar yang dihuni empat orang, bukan berdelapan
apalagi enambelas. Di dalam kamar yang saya tempati hanya ada sebuah meja yang
sudah terlanjur dikuasai penghuni yang sudah menginap lebih dulu. Gak masalah,
di luar kamar masih terdapat banyak meja kursi untuk bersantai dan mengakses
Wifi dengan laptop. Tempat tidurnya berupa dua buah bunk bed di sudut kanan dan kiri ruangan. Saya kebagian tempat
tidur bawah yang di sebelah kanan dekat pintu, tempat tidur lainnya sudah
terisi semua. Gak masalah juga, asalkan penghuni tempat tidur di atas saya
tidak terlalu ribut naik turun waktu jam tidur nanti. Masing-masing penghuni
kamar diberi satu buah locker untuk menyimpan barang bawaan. Masalahnya, locker
ini hanya bisa dikunci dengan gembok yang harus dibawa sendiri. Berhubung
dompet, laptop dan barang penting lainnya selalu saya bawa setiap keluar jalan,
no problemo juga. Jadi so far so good. Meskipun harus diakui,
ide sharing kamar dengan orang-orang yang sama sekali asing sebenarnya agak
sedikit mengganggu untuk tipe introvert seperti saya. But whatever lah, namanya juga lagi travelling, this is part of
the adventure and fun.
Kamar mandi di hostel ini berupa kamar mandi umum yang untungnya berjumlah cukup banyak sehingga bisa meminimalisir waktu ngantri. Sisi plus lainnya, kamar mandinya dirancang sehingga kakus dan shower merupakan ruang terpisah. Jadi kalau kita sedang menghayati nikmatnya hot shower sehabis travelling seharian, tidak beresiko terganggu aroma terapi gak sedap dari WC sebelah. Apalagi WC di sini juga jenis yang setiap ruangnya disekat oleh dinding tapi bagian atasnya terbuka, yang memberikan peluang bau-bau khas WC untuk “travelling”. Satu-satunya masalah yang saya temui di sini adalah soal perlengkapan mandi. Bukan...bukan soal timba yang harus dibawa dari Indonesia, kan pakai shower. Tapi soal sabun mandi, shampoo dll dkk harus dibawa sendiri.
Jadi ceritanya begini,
di malam pertama menginap di hostel ini, mungkin karena saking terlena oleh
nikmatnya hot shower, waktu keluar WC
saya lupa membawa sabun mandi cair yang saya beli khusus untuk trip kali ini.
Parahnya, hal ini baru saya sadari keesokan harinya waktu mau mandi pagi. Saya
langsung bergegas ke ruang shower tempat saya mandi malam sebelumnya, tapi
sabun cair tercinta sudah hilang tak berbekas. Sempat kesal juga dengan sifat
maling yang kelihatannya tersebar merata di seluruh muka bumi, tapi akhirnya
saya cuma bisa pasrah dan membeli sabun cair baru. Meskipun harus dengan sangat
berat hati mengeluarkan beberapa dollar ekstra, tapi rasanya lebih masuk akal
dibanding bertanya satu-satu ke semua penghuni hostel, apakah ada yang
mengambil sabun cair saya. Bukan hanya masalah gengsi atau malu, tapi resiko
dikeroyok kalau ada yang tersinggung.
Tapi waktu singgah ke
WC sebelum check out di hari
berikutnya, saya melihat ada tempelan kertas di salah satu pintu kamar mandi.
Ternyata isinya adalah request dari
salah seorang penghuni yang kehilangan shampoo nya kepada siapapun yang
menemukan untuk mengembalikannya kepada sang pemilik. Dua hal langsung melintas
di pikiran saya: 1) Why didn’t I think of
that?? Meskipun gak tahu cara ini bakal efektif atau tidak, minimal ada
usaha. 2) Kayaknya kemalingan seperti ini sudah resiko tinggal di hostel yang
penghuninya notabene kere semua...
Tips:
Kalau kamu berencana untuk tinggal di backpacker hostel dan barang bawaan kamu
cukup banyak, untuk mengurangi resiko kehilangan barang sebaiknya kamu bawa
gembok kecil untuk mengunci locker. Kenapa gembok kecil? Kenapa gak bawa yang
segede bagong sekalian? Karena gak akan muat dipasang di lockernya! Jadi
meskipun kamu bawa jenis gembok yang anti nuklir, gak akan ada manfaatnya.
Kedua, be extra careful! Ingat, semua
penghuni hostel adalah kaum yang ingin berhemat yang mungkin punya semboyan
“Kalau bisa nyolong kenapa harus beli?” Jadi sebelum keluar dari kamar mandi,
kamar tidur, sehabis makan di ruang makan dsb, pastikan tidak ada barang kamu
yang tertinggal. Karena kalau sampai ketinggalan, you’ll need a lot of luck or some magic even...to get it back.
Beijing
– China
Waktu itu saya membawa mama jalan-jalan
ke China ikut tour. Hotel yang kami tinggali adalah kelas bintang empat yang
sebenarnya cukup bagus. Tapi bagus memang tidak berarti tidak bermasalah. Ketika
rombongan kami tiba di tempat, waktu memang sudah cukup malam. Tidak tahu
kenapa saat itu tidak ada porter yang
bisa membantu mengangkat koper peserta tour. Masalahnya, untuk mencapai pintu
masuk ke lobby hotel, tidak ada jalur untuk menarik koper. Yang ada hanya anak
tangga yang cukup tinggi! Belum lagi fakta bahwa mayoritas peserta tour adalah
kaum lansia! Saya membantu sedapat mungkin (sumpah!), but in case I haven’t told you, I’m
not Superman. Not even close.
Jadi yah, terpaksa Bapak-bapak dan Ibu-ibu rombongan kami ikut sesi “nge-gym
bareng” dan bersusah payah mengangkat koper masing-masing menaiki anak tangga
ditemani angin musim semi Beijing yang dingin.
Tapi
paling tidak waktu sudah di kamar saya dapat sedikit penghiburan. Di dinding WC
ada tulisan bilingual dalam bahasa Mandarin dan Inggris. Versi Bahasa Inggrisnya
bertuliskan: “Carefully Slipping”. Maksudnya sih mau mengingatkan pemakai WC
supaya berhati-hati jangan sampai terpeleset karena lantai yang licin. Tapi
kalau diartikan secara harafiah, dua kata itu berarti “Secara perlahan-lahan
terpeleset.” A classic case of lost in
translation...
Hangzhou
- China
Masih kelanjutan dari tour ke China.
Berbeda dengan di Beijing, kali ini tidak ada acara angkat-angkat koper. Akses
ke lobby hotel sangat mudah. Begitu turun dari bis, tinggal mengambil koper
dari bagasi dan menariknya masuk ke pintu hotel yang posisinya rata dengan
tanah. Tidak ada anak tangga yang gak perlu dan gak penting. Tapi mungkin
menurut pihak tour operator, tanpa konflik...tour tidak akan terlalu berkesan.
Jadi meskipun tidak ada kendala berarti memasuki lobby hotel, memasukki kamar
agak sedikit berbeda. Waktu itu tour guide kami tidak ikut ke hotel, dan untuk
proses check-in hotel didelegasikan
ke supir bis. Waktu sang supir melakukan check-in ke resepsionis, ternyata
katanya rombongan kami tidak terdaftar di booking list hotel! Sempat terjadi
argumentasi antara supir dengan pihak hotel, yang dimeriahkan dengan debat
kusir antara sesama karyawan hotel. Mungkin ada kesalahan koordinasi di pihak
internal hotel. Mr. Supir kemudian menelpon tour guide kami dan setelah
menunggu beberapa lama, akhirnya jadi juga kami menginap di hotel ini. Happy ending? Not quite yet. Waktu masuk
ke kamar, saya dapat kejutan berikutnya yang tidak kalah meriah. Pintu kamar
kami tidak bisa dikunci!! Meskipun sudah lelah, kami masih harus menunggu
petugas hotel memperbaiki pintu kamar dan tidak bisa langsung istirahat.
Untungnya respon pihak hotel cukup cepat dan proses perbaikan juga tidak
terlalu lama. Finally...bisa mandi
dan tidur.
But you know what? Bahkan itupun belum
akhir cerita! Masih ada kejadian menarik keesokan harinya. Makan pagi
disediakan di gedung yang berbeda. Cukup dekat sih, cuma lima menit jalan kaki.
Tapi berhubung malam sebelumnya hujan deras, jalan yang harus kami lewati
tergenang air dan becek. Ketidaknyamanan ini dilengkapi dengan situasi dan
kondisi ruang makan yang sepertinya merupakan dapur yang secara darurat dan
seadanya dimodifikasi menjadi ruang makan. Jadi dapur dan ruang makan merupakan
satu kesatuan. Penuh sesak dengan meja dan pengunjung, breakfast di sini mengingatkan saya dengan masa-masa indah naik bis
Patas AC di Jakarta yang identik dengan keyword
“Geser...geser...” Tapi menu pagi itu yang hanya berupa bubur polos plus cakwe, dengan susu kacang yang flavourless...saya juga tidak berniat
lama-lama di sana...
Tips:
Kembali lagi, kalau kamu jalan-jalan
ikut tour, sebaiknya riset dan cari tahu info sebanyak mungkin tentang travel agent atau tour operator nya. Ikut tour operator yang sudah punya reputasi
bagus, sehingga hotel-hotel yang dipilih juga yang tidak bermasalah dan
mengecewakan. Satu lagi, kalau kamu travelling ke China, jangan kaget kalau
resepsionis tidak bisa berbahasa Inggris. Meskipun di hotel berbintang empat
dan di ibu kota seperti Beijing. Jadi kalau bisa belajar basic Mandarin sebelum
berangkat atau bawa buku percapakan singkat. Kalau tidak, siap-siap saja keluar
jurus pantomim atau “Win, Lose or Draw”...
- SW -
- SW -