Belum terasa memejamkan mata, telepon kamar sudah berbunyi sebagai morning call untuk membangunkan semua
peserta tour. Dengan usaha yang luar biasa ekstra disertai doa, saya memaksakan
diri untuk bangun dari tempat tidur dan mandi. Gak bisa lama-lama menikmati air
panas dari shower karena harus segera
turun untuk early breakfast.
Setelah mandi dan beres-beres, memastikan tidak ada
barang yang ketinggalan di kamar, terlebih-lebih dompet dan paspor, kami segera
turun ke ruang makan hotel. Sesampainya di ruang makan, segala lini praktis
dikuasai oleh peserta tour. Maklum, baru jam 5 pagi. Breakfast di hotel biasanya baru ada mulai jam 6, 6:30, tergantung
hotel. Saya langsung mulai dengan menyantap semangkuk bubur. Setelah itu baru
mencicipi sedikit menu-menu lainnya, terlalu pagi untuk makan banyak. Selesai breakfast kami segera naik bis untuk
menuju bandara. Sesampainya di bandara, meskipun masih pagi tapi suasana sudah
cukup ramai. Self check-in tiket kali
ini dibantu oleh pengurus tour asal Malaysia, tour leader kami mengurus semua
bagasi yang harus di check-in.
Setelah itu kami hanya menunggu keberangkatan saja. Kami kembali naik AirAsia
yang menggunakan pesawat Airbus A320-300, kelas ekonomi dengan formasi tempat
duduk 3-3-3 dalam satu baris.
Kalau Anda bertanya mengapa selalu AirAsia yang
dipakai dan bukan Singapore Airlines (SQ), Emirates atau sejenisnya, pastinya
ada hubungan dengan masalah UUD (ujung-ujungnya duit). Prinsip ekonomi suatu
bisnis kan mengeluarkan biaya minimum untuk mendapatkan keuntungan maksimum.
Travel agent dan tour operator tidak terkecuali. Yang kayak gini kan anak kecil
dan nenek-nenek juga tahu hehe…Semua penerbangan internasional (Malaysia-China
pp) dan domestik (dalam wilayah Malaysia) di tour kami ini memang memakai
AirAsia, kecuali satu, penerbangan jalur domestik di China. Catatan lain,
bandara Tianjin tidak sebesar Beijing atau Shanghai, jadi memang tidak semua
maskapai punya jalur terbang ke sini. Toh kalau mau ke Beijing dari Tianjin
tinggal naik bis atau kereta api.
Pemandangan di dalam Airbus A320-300 |
Tianjin cukup penting dalam perjalanan kali ini,
karena merupakan kota persinggahan pertama di ‘Tour de China’ saya yang
pertama, yang akan memberikan kesan pertama tentang negara ini. Pokoknya, yang
serba pertama. Kita semua tahu kesan pertama sangat penting. Tanya saja kepada
mereka yang menjalani interview pekerjaan untuk jabatan penting. Atau mereka
yang ketemu dengan calon mertua untuk pertama kalinya J Dampaknya bisa berkaitan
dengan hidup matinya seseorang hehe. Meskipun kita semua juga tahu, kalau kesan
pertama itu tidak selalu akurat dan benar. Diperlukan informasi yang lebih
lengkap dan waktu yang lebih lama sebelum kita bisa memberikan penilaian yang
paling tidak lebih mendekati kebenaran tentang suatu hal atau seseorang.
Kembali ke soal Tianjin, sebenarnya saya tidak blank sama sekali tentang kota ini.
Sebelum berangkat saya sempatkan untuk browse
di internet, khususnya di www.wikitravel.org yang sudah jadi panduan wajib saya setiap kali ingin travelling. Saya juga menyempatkan untuk
melihat video tentang kota Tianjin di YouTube. Video promosi kota Tianjin yang
saya lihat membuat saya tidak bisa menahan diri untuk berdecak kagum. Kota ini
sangat maju dan merupakan salah satu kota pelabuhan penting di Cina. Tata kota
yang rapi, bersih dan hijau benar-benar asri dan menambah daya tarik kota ini.
Perjalanan wisata ke Cina dengan pintu gerbang Tianjin
ini memakan waktu kurang lebih 6 jam. Setelah cukup lelah di dalam pesawat,
dimana saya tidak benar-benar bisa beristirahat, rasanya akan sangat
menyenangkan jika setelahnya bisa mendapat penghiburan berupa pemandangan yang
menarik dan indah. Ketika turun dari pesawat yang tiba hampir jam 3 sore waktu
setempat, kesan pertama saya, bandara Tianjin tidak besar tapi cukup modern. So, paling tidak kesan pertama saya
cukup positif. Perbedaan waktu antara Tianjin dengan Jakarta (WIB) adalah 1 jam
lebih cepat, sama seperti perbedaan waktu dengan Malaysia dan Singapura. Setelah melewati bagian imigrasi dengan
lancar, kamipun langsung menuju pintu keluar bandara.
Bandara Tianjin |
Di sana tour guide
kami yang merupakan warga lokal asli, sudah menunggu. Beliau ternyata bisa
berbahasa Indonesia! Bukan itu saja, sang tour
guide bahkan mengadopsi nama Indonesia, Ms. Eka. What a bonus! Jujur saja, saya agak sedikit surprise bercampur kagum. Ketika di Australia, saya pernah mengajar
Bahasa Indonesia privat kepada dua orang anak SD dan seorang professor
universitas. Dan saya bisa bilang, Bahasa Indonesia tidak terlalu sulit untuk dipelajari
orang asing, tapi juga tidak mudah. Makanya saya angkat topi juga untuk tour guide kami itu. Meskipun lafalnya
masih dengan aksen yang kental dan kadang-kadang tidak jelas dan kurang tepat,
tapi menurut saya sudah cukup luar biasa. Apalagi menurut pengakuan beliau, dia
hanya belajar di kursus selama enam bulan! Kalau mau dibalik, dulu saya pernah
ikut kelas Mandarin di Jakarta, dan asal tahu saja, lafal murid-murid di kelas
90% amburadul!
Kami harus berjalan kaki keluar dari bandara ke area
parkir bandara dimana bis pariwisata sudah standby.
Sore itu matahari bersinar terang dan langit cerah dengan suhu yang nyaman,
tidak dingin ataupun panas. Jadi ketakutan perubahan cuaca ekstrim dari panas
di Indonesia ke dingin tidak terjadi. Menurut sang tour guide, musim semi di Tianjin suhunya hanya akan menjadi cukup
sejuk dan dingin di malam hari. Di awal bulan April ini, pohon-pohon masih
‘botak’ sebagai dampak musim dingin yang baru saja lewat. Jadi harapan untuk
melihat bunga-bunga musim semi yang mekar semerbak pupus
sudah.
Setelah naik ke bis,
tujuan pertama kami adalah Jalan Itali.
Jalan ini adalah kompleks perumahan bergaya Eropa yang merupakan peninggalan
kaum kolonialis. Gaya bangunan yang indah dan klasik langsung membuat saya suka dengan
tempat ini. Tapi ini bukan hanya pendapat saya pribadi, buktinya waktu kami
berkunjung ke sana, ada dua pasang pengantin yang sedang menjalani sesi
foto-foto wedding. Apa sih yang lebih
romantis dari foto wedding yang
berlatar bangunan klasik Eropa? Jadi kalau Anda tertarik untuk mengambil
foto-foto pre-wedding maupun wedding yang berlatar Eropa, tidak perlu
jauh-jauh ke Perancis, Italia atau negara-negara Eropa lainnya, cukup ke
Tianjin saja. Apalagi terbang ke Tianjin bisa menggunakan budget airline AirAsia dengan tagline
nya yang catchy: “Now everyone can fly”.
Di area ini juga terdapat deretan restoran yang ditata
dengan cukup apik sesuai dengan lingkungannya. Serasa berjalan di Eropa lah,
dengan nuansa Asia karena para pelayan restoran yang merupakan warga lokal.
Belum puas menikmati pemandangan dan suasana di sini, tour guide sudah
memanggil kami untuk kembali ke bis untuk melanjutkan perjalanan ke tempat
tujuan berikutnya. Waktu yang singkat di sini cukup membuat saya jatuh cinta
dengan kota ini dan ingin berlama-lama di sini. Tapi apa boleh buat, jadwal
kami hanya numpang lewat dan sekilas info di Tianjin, sebelum menuju Beijing.
Jalan Itali |
Dari jalan Itali, kami
menuju ke Jalan Budaya. Area ini merupakan sebuah
jalan kecil yang lebih mirip gang, dengan kompleks pertokoan di kedua sisinya.
Jalan Budaya |
Tempatnya cukup menarik, tapi sayangnya berhubung waktu sudah sore
menjelang malam, toko-toko yang buka tidak banyak. Tapi di sisi lain, sunset yang dilihat dari sini cukup
indah, sedikit demi sedikit tenggelam di belakang gedung-gedung pencakar
langit. Di sini, kamu bisa beli makanan kecil atau snack khas lokal. Ada juga
toko yang menjual pakaian khas China, stand
buku/majalah dan lain-lain. Setelah rombongan ibu-ibu peserta tour puas
belanja, berikutnya kami meneruskan perjalanan ke Jalan Makanan.
That’s right, sesuai namanya, tempat
ini merupakan suatu kompleks yang menjual makanan-makanan khas lokal. Tapi ada
juga stand-stand yang menjual kerajinan tangan buatan lokal.
Jalan Makanan |
Dari sini kami berjalan ke sebuah restoran ‘Muslim’ yang letaknya tidak
jauh dari kompleks ini untuk makan malam. Saya sempat penasaran juga menunya
seperti apa. Ternyata, meskipun namanya restoran ‘Muslim’, tapi makanan yang
disajikan Chinese Food! Mungkin restoran ini bersertifikat halal, atau hanya
sekedar penamaan. I’m not sure. Yang
jelas makanan yang disajikan biasa saja, jadi saya tidak akan
merekomendasikannya. Ada beberapa meja lain yang menunya kelihatannya seperti
shabu-shabu. Mungkin menu ini yang harusnya kami coba. Tour guide kami ngaku kalau dia pilih restoran itu hanya karena
letaknya yang dekat dengan kompleks Jalan Makanan. Soalnya setelah dinner kami harus naik bis menuju
Beijing untuk bermalam. So time is money!
Setelah dinner,
kami segera naik bis untuk meneruskan perjalanan. Di perjalanan, ada
pemandangan fantastis kota Tianjin yang tidak akan saya lupakan. Di sebuah area
kota yang dipisahkan oleh sungai, berhubung waktu sudah malam, lampu-lampu
dinyalakan menghiasi jembatan dan area sekitarnya. Di dekatnya, berdiri
sederetan apartemen yang juga dihiasi dengan lampu-lampu. So grand and beautiful! Di Tianjin, bagian bawah jalan tol juga
dipasangi lampu sebagai bentuk tata rias kota.
Waktu yang hanya beberapa jam untuk sekedar melihat
sekilas kota Tianjin, benar-benar terasa tidak mencukupi. Tapi apa boleh buat,
resiko ikut tour dengan jadwal yang padat dan ketat. Tapi di sisi lain, saya
juga sudah tidak sabar untuk melihat Beijing. Goodbye Tianjin, Beijing here we come!
Perjalanan naik bis dari Tianjin ke Beijing makan
waktu kurang lebih dua jam. Berhubung di sepanjang jalan pemandangan yang ada
cuma jalan tol, saya memutuskan untuk coba tidur saja. Petualangan dari KL
kemarin cukup melelahkan, jadi harus manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk recharge. Fast forward, akhirnya bis memasuki kota Beijing. Pemandangan kota
Beijing di malam hari cukup indah, gedung-gedung dihiasi dengan lampu
warna-warni. Menurut Ms. Eka, hal ini memang bagian dari agenda resmi dari
pemerintah kota Beijing untuk memperindah kota. Katanya kalau kita naik pesawat
malam hari memasuki wilayah Beijing, dari atas kita akan melihat pemandangan
lampu warna-warni yang sangat indah. Berarti next trip ke Beijing harus naik pesawat nih. Tidak lama kemudian
akhirnya sampai juga di Hotel Peixin.
Hotel bintang empat ini mendapat cukup banyak review positif di situs
TripAdvisor dari para traveller yang
pernah berkunjung.
Kesan pertama sih, hotel ini cukup besar dan bagus.
Cuma, tidak adanya jalur khusus untuk menarik koper ke dalam hotel cukup
menyulitkan. Tangga yang harus dinaiki untuk menuju pintu masuk hotel cukup
tinggi. Jadi kalau koper yang dibawa banyak, besar dan berat, good luck deh. Tidak jelas waktu itu
kenapa tidak ada jasa bell boy yang
bisa membantu untuk angkat-angkat koper. Setelah sesi latihan otot singkat tapi
padat ini, kami semua berkumpul di lobby sambil menunggu pembagian kunci kamar.
Untungnya sih malam ini tidak selarut waktu tiba di hotel KL. Sehabis pembagian
kunci, kami semua masuk ke kamar untuk beristirahat.
Pesan tour
leader, besok morning call jam 6
pagi, paling lambat jam 8 kami sudah harus berangkat. Setelah itu breakfast dan full day tour di kota Beijing. De
ja vu banget. Selama 12 hari tour ini memang harus membiasakan diri dengan
hal ini: check-in hotel, morning call,
breakfast, tour, check-in hotel, morning call,
breakfast, tour, all over again. Sampai masuk ke alam bawah sadar deh pokoknya.
Besok agendanya adalah mengunjungi Tiananmen
Square (Lapangan Tiananmen), Forbidden
City (Kota Terlarang), Olympic Park
dan Summer Palace (Istana Musim Panas).
Saat masuk ke
kamar, memang bersih dan nyaman. Ada satu hal yang membuat saya tidak bisa
menahan senyum. Di dinding WC ditempel peringatan untuk berhati-hati supaya
tidak terpeleset yang ditulis dalam dua bahasa, Mandarin dan Inggris. Tertulis:
“Carefully Slipping” yang kalau mau
diterjemahkan secara harafiah artinya: “Secara perlahan-lahan terpeleset”
haha...tidak heran kalau lowongan mengajar Bahasa Inggris cukup banyak di
China, terutama untuk para native
speakers. Setelah mandi, it’s bedtime.
Good night Beijing, we’ll see you
tomorrow!
- SW -