Melbourne adalah ibukota negara bagian Victoria dan
merupakan kota terbesar kedua Australia, setelah Sydney. Tapi tentu saja
penduduk kota ini tidak akan mengakui kalau kota tercinta mereka kalah penting
dibanding Sydney. Saya bahkan pernah baca sebuah artikel di koran lokal
Australia yang menuliskan adanya perdebatan bahwa di masa depan Melbourne akan
mengambil alih peran Sydney sebagai kota perdagangan utama Australia. Kota ini
merupakan kiblat fashion Australia, atau paling tidak begitulah klaimnya. Tapi
jangan tanya pendapat orang Sydney tentang Melbourne. Ketika saya memberitahu
seorang guru saya di Sydney tentang rencana travelling
ke Melbourne dan minta masukan dan sarannya, beliau sempat menyinggung bahwa segala klaim
penduduk Melbourne sebagai kota pusat budaya, fashion dan sebagainya overrated alias berlebihan. Kasus perseteruan
klasik deh pokoknya :)
Travelling ke Melbourne memang sudah saya rencanakan
jauh-jauh hari karena ingin menonton turnamen tenis Australian Open. Tentu saja
sekaligus untuk jalan-jalan melihat kota ini dan atraksi wisatanya seperti Great Ocean Road dan Phillip Island. Perjalanan ke Melbourne
ini saya lakukan dengan naik pesawat, yang kalau dapat harga promo bahkan lebih
murah jika dibandingkan dengan jalur darat. Begitu tiba di bandara Melbourne,
perjalanan ke pusat kota dilanjutkan dengan menggunakan bis SkyBus. Berhubung
memang untuk melayani transportasi dari bandara, bis merah ini menyediakan
ruang bagasi di dalam bis yang cukup luas untuk menampung koper-koper
penumpang. Bis kemudian berhenti di stasiun kereta Central Station, dan
perjalanan dilanjutkan dengan sebuah minivan untuk mengantar penumpang ke
tempat penginapan. Saya menginap di backpacker
hostel YHA Central dan diantar sampai cukup dekat dengan lokasi sehingga
tinggal berjalan kaki untuk mencapai hostel. Waktu tiba di hostel, ternyata masih
terlalu pagi dan harus menunggu proses check
out penghuni kamar sebelumnya. Daripada bengong menunggu di lobby hostel,
saya putuskan untuk breakfast di
sebuah cafe di sebelah hostel. Menunya?
Pancake dengan saus madu favorit saya! Plus segelas orange juice. Mengambil posisi duduk dekat jendela untuk makan
sambil membaca buku Creating the Good
Life nya James O’Toole dan people
watching, pagi itu terasa seperti di Utopia. Tapi feel-good moment ini berakhir di tegukan pertama orange juice.
Rasanya sangat kecut bercampur rasa-rasa gak jelas lain yang intinya: tidak
layak konsumsi! What a mood wrecker! Saya
sempat complain ke kasir waktu membayar, tapi dia cuma bisa minta maaf.
Next, kembali ke hostel reception untuk mengurus check-in
sekaligus konfirmasi paket tour ke Great Ocean Road dan melihat parade Penguin
di Phillip Island yang sudah saya beli melalui website YHA sebelum berangkat. Ternyata
jadwal lebih mepet dari yang saya kira, jadi begitu selesai check-in saya
langsung ke kamar untuk menaruh tas dan turun kembali untuk menunggu bis
jemputan dari pihak tour operator.
Untungnya salah satu pick-up point
adalah di depan hostel tempat saya
menginap dan ternyata waktu saya sampai di bawah, minibus
sudah standby. Untung saja saya belum
ketinggalan hehe. Sebelum masuk mobil saya harus menunjukkan bukti booking dan pembayaran ke sopir, then off we go. Di hari pertama ini saya
ikut tour ke Phillip Island untuk melihat parade Penguin. Tapi sebelum itu, sempat
singgah di beberapa tempat lain. Diawali dengan pembagian lunch yang “hanya” berupa roti sandwich di sebuah area dekat pasar
terbuka yang menjual berbagai macam barang dan kerajinan buatan penduduk lokal.
Bagi saya menu itu lebih cocok dibilang snack
daripada makan siang. Tidak lama di
sini, kamipun dibawa ke sebuah kebun binatang kecil yang bernama Maru Koala & Animal Park untuk
melihat satwa khas Australia seperti koala, kangguru, Tasmanian Devil dan ostrich (burung unta).
|
Snack break stop |
Di sini saya dengan sangat terpaksa melanggar himbauan guide untuk tidak menyentuh koala yang sedang bertengger di sebuah pohon yang rendah. Akibatnya saya ditegur oleh sopir sekaligus tour guide kami :) Tapi paling tidak
rasa penasaran saya terpuaskan, so it’s
worth it :) Katanya
sih cakar binatang ini bisa berbahaya, tapi kalau menurut saya sih itu hanya excuse untuk melarang pengunjung
seenaknya menyentuh binatang ini. Ternyata dedaunan yang dimakan koala ini
sebenarnya beracun, tapi secara alami tubuh koala sudah beradaptasi untuk
memproses makanan ini. Efek sampingnya, binatang ini hampir akan selalu
terlihat sedang tidur karena proses untuk mencerna makanan beracun ini
membutuhkan banyak energi yang membuat mereka kelelahan. Tasmanian Devil sama
sekali tidak terlihat seperti kesan karakter kartun Warner Bros yang bertampang
freaky. Malahan menurut saya binatang
kecil ini bisa dibilang cute :)
|
The forever sleepy Koala |
|
Tasmanian Devil |
Yang paling banyak
ditemukan di sini adalah kangguru. Kangguru-kangguru di tempat ini jinak dan
tidak malu-malu melahap makanan yang diberikan oleh pengunjung. Pengunjung
memang diberi kesempatan untuk memberi makan kangguru dan juga burung unta
dengan makanan khusus yang bisa dibeli di sini. Cuma hati-hati saja waktu
memberi makan burung unta, karena binatang ini cukup agresif dan patokan
paruhnya bisa membuat pingsan mereka yang jantungan hehe. Tapi tenang, berbeda
dengan kangguru yang bisa diberi makan langsung tanpa pembatas, area burung
unta dibatasi pagar. Jadi kalau gak mau merasakan sensasi dipatok, cukup
meletakkan makanan di atas balok kayu pagar pembatas dan burung-burung ini bisa
“swalayan”.
|
Ostrich ganas |
Di suatu area ada seekor kangguru berotot yang dijuluki tour guide kami “Arnold” nya para
kangguru hehe...Hal menarik lain, ada seekor kangguru kecil yang albino.
Benar-benar unik dan menarik perhatian semua pengunjung, bisa bayangkan
kangguru berwarna putih? Selesai mengelilingi tempat ini kamipun berjalan
keluar untuk kembali ke mobil. Di halaman luar tempat ini terdapat sebuah
tempat bermain golf mini. Meskipun penampilan mini golf course ini biasa saja
menurut saya, yang agak tidak biasa adalah ada sebuah papan di depan area ini
yang bertuliskan larangan-larangan untuk masuk dan bermain, antara lain tidak
boleh merokok, tidak boleh membawa masuk minuman, tidak boleh membawa binatang
peliharaan dan yang terakhir tidak boleh telanjang kaki dan harus memakai
pakaian rapi! Lebih hebat lagi, di gerbang masuk ke kompleks ini dipasang
sebuah spanduk bertuliskan “Australia’s Best Mini Golf”. Mungkin yang seperti
inilah yang dimaksud “Marketing is bullshit” :)
|
Pyramid Rock |
Di sini kita bisa melihat Seal Rocks yang merupakan
batu karang yang berbentuk seperti bukit kecil yang merupakan tempat koloni
anjing laut berbulu (fur seals) terbesar di Australia. Di lokasi ini juga
terdapat blowhole, yakni gua di tepi laut
yang mengeluarkan suara yang menggelegar di saat ombak besar. Hanya saja, waktu
saya di sana tidak mendengar suara apapun :) Di kunjungan musim panas saat itu memang langit sangat cerah, dan sejauh mata
memandang memang tidak ada ombak besar, jadi bisa dimaklumi. Setelah puas
menyusuri boardwalk, yakni jalur untuk pejalan kaki melihat pemandangan
sekitar, yang terbuat dari papan kayu dan berpagar, kami pun berkumpul kembali
di area di luar The Nobbies Centre,
sebuah gedung di lokasi ini yang didalamnya terdapat gift shop, area bermain
anak-anak, cafe dan juga area khusus yang memberikan informasi ilmiah tentang
The Nobbies. Tour guide ternyata membawa snack ringan dan menyediakan air panas
untuk menyeduh teh atau kopi. Menikmati indahnya pemandangan pesisir laut
sambil makan snack yang ditemani teh panas, simply
fantastic...Di area luar gedung memang disediakan bangku dan meja kayu
untuk bersantai. Saya menyempatkan diri untuk keliling di dalam gedung sambil
sedikit foto-foto. Pengunjung yang datang waktu itu cukup ramai. Data statistik
The Nobbies Centre menunjukkan bahwa setiap tahun sekitar setengah juta
pengunjung mendatangi tempat ini.
|
The Nobbies |
|
The Nobbies Centre |
Setelah itu kami semua kembali ke mobil untuk
melanjutkan perjalanan untuk melihat parade penguin. Di tengah jalan, tour
guide kami sengaja menghentikan mobil karena melihat seekor kangguru liar yang
sedang nongkrong di antara padang ilalang. Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan
untuk mengabadikannya, meskipun kamera digitial saya tidak dilengkapi fasilitas
optical zoom, hanya digital zoom. Hasilnya ya, maskot Aussie ini memang
terlihat kecil, but it’s ok lah. Selama beberapa saat, terjadi aksi saling
menatap antara penghuni mobil dengan sang kangguru. Uniknya, binatang
berkantong ini sepertinya tahu kalau dia sedang jadi objek bidikan mata dan
kamera, tapi dia nyantai dan cuek
saja tuh :) Puas
foto-foto, kami langsung tancap gas ke tujuan berikutnya.
|
Can you see it? |
Sayangnya di lokasi
parade penguin tidak diperbolehkan untuk foto-foto. Jadinya kilas balik
kunjungan ke tempat ini hanya bisa dilakukan dengan mengakses memori ingatan. Dari
pintu masuk kami berjalan ke area tepi pantai yang telah disediakan tempat duduk
bertingkat yang terbuat dari semen untuk melihat aksi para penguin mini ini
berenang kembali ke pantai yang menjadi sarang mereka, setelah seharian mencari
makan di laut. Sempat harus menunggu selama beberapa lama, yang terasa seperti
keabadian, akhirnya terpuaskan juga setelah melihat makhluk-makhluk kecil ini
dengan lucunya muncul dari air dan berjalan dengan langkah-langkah khas penguin
memasuki area pantai untuk kembali ke sarangnya. Pengunjung bisa mengikuti
mereka menyusuri pantai melalui jalur pejalan kaki, tapi dijaga oleh para
petugas untuk memastikan tidak ada orang iseng yang akan mengganggu
burung-burung ini. Selesailah petualangan melihat parade penguin. Meskipun
relatif singkat, tapi pengalaman unik ini cukup berkesan. Menuju ke pintu keluar,
terdapat gift shop yang menjual segala pernak-pernik bertema penguin dan tempat
ini. Hari sudah malam dan kamipun kembali ke kota Melbourne. Meskipun cukup
lelah, tapi hari pertama ini fun. Setelah kembali ke hostel dan mandi, it’s time to sleep. Besok pasti tidak
kalah menarik karena akan menyaksikan turnamen tenis Australian Open secara LIVE untuk pertama kalinya.
Good morning,
Melbourne! Cuaca pagi ini cerah, just
perfect! Di dapur saya bertemu sebuah keluarga Australia yang ternyata juga
datang ke Melbourne untuk nonton Australian Open. Sang Ibu sedang menyiapkan
bekal untuk “piknik” keluarga ke stadion. Menurut beliau, makanan di stadion
sangat mahal. Good planning, tapi
berhubung saya hanya akan menonton untuk hari ini saja dan memang tidak ada
persiapan untuk membawa bekal, terpaksa nanti harus lunch di stadion. Salah seorang anak dari keluarga ini malah bisa
sedikit Bahasa Indonesia karena belajar di sekolah. Bahasa Indonesia memang
menjadi salah satu bahasa pilihan untuk dipelajari murid-murid sekolah di
Australia, yang membuat saya berkesempatan untuk menjadi tutor privat untuk Josh dan Jake, dua kakak beradik murid saya di
Sydney. Setelah breakfast instant noodle
plus cereal, saya pun segera
berangkat ke stadion.
Ternyata untuk ke stadion cukup naik tram dari depan hostel yang dilanjutkan dengan sedikit berjalan
kaki. Itulah keunggulan memilih tempat tinggal di lokasi strategis, yang punya
nilai tambah akses mudah ke mana-mana. Hostel YHA Melbourne Central ini saya
rekomendasikan kepada kamu seandainya suatu hari berkunjung ke Melbourne.
Selain lokasi strategis, kamar dan WC di sini juga cukup nyaman dan bersih. Value for money nya cukup tinggi deh
pokoknya. Dari tempat pemberhentian tram, masih harus berjalan kaki sedikit ke
stadion. Kompleks yang disebut Melbourne Park ini memiliki dua stadion utama
yang bernama Rod Laver Arena dan Hisense Arena dan beberapa lapangan
yang lebih kecil. Dua lapangan utama ini dilengkapi dengan atap yang bisa buka
tutup di saat hujan atau panas terik. Turnamen yang diadakan sejak 1905 ini
tercatat selalu sangat ramai pengunjung, nomor dua setelah US Open di Amerika. Tidak
main-main, turnamen ini memperebutkan total hadiah sebesar AU$ 26 juta!
|
Inside The Rod Laver Arena |
Pertandingan yang akan saya saksikan dilangsungkan di Rod
Laver Arena yang merupakan lapangan utama. Ketika sampai, pengunjung yang
datang sudah sangat ramai dan mengantri dengan rapi untuk masuk ke dalam
stadion. Saya tidak tahu siapa yang akan bertanding sampai ketika akan masuk ke
stadion, karena memang tidak tertulis di tiket. Tapi bagi saya tidak terlalu
menjadi masalah, karena niatnya memang bukan hanya menonton pertandingan,
tetapi juga menikmati suasananya.
Dari tampilan layar elektronik yang di depan
tempat mengantri, saya bisa melihat kalau nanti yang akan tampil di lapangan
utama adalah Roger Federer, Caroline Wozniacki dan Maria Sharapova! Kesempatan
untuk melihat langsung penampilan Federer (pemegang gelar juara Grand Slam
terbanyak dalam sejarah), Wozniacki (waktu itu merupakan petenis putri
peringkat satu dunia), dan Sharapova yang penampilannya lebih mirip selebriti
Hollywood daripada pemain tenis, merupakan berkat yang patut disyukuri. What a pleasant surprise!
Ketika
akhirnya menjejakkan kaki di dalam stadion, saya cukup terkesan dengan
penampilan dan kenyamanan bangunan bernuansa biru ini. Untuk masuk ke area
tempat duduk harus melalui sejumlah pintu masuk yang terdapat di sekeliling
lapangan. Di setiap pintu terdapat petugas yang berjaga, siap membantu
pengunjung soal tempat duduk dan juga menjaga ketertiban selama pertandingan
berlangsung. Moment yang paling menarik adalah ketika pemain men-“challenge”
bola yang dianggapnya tidak masuk tapi masuk menurut wasit. Ketika visualisasi
masuk/keluarnya bola yang di-generate
oleh komputer ditampilkan di layar besar di lapangan (teknologi Hawkeye), penonton serempak
melakukan tepukan tangan sampai tampilan selesai dan bola terbukti
masuk/keluar.
|
Federer in action |
Yang tidak kalah menarik adalah ketika waktu jeda, sebagian
penonton berkerumun di pembatas tepi lapangan untuk meminta tanda tangan dari
petenis favoritnya. Waktu break saya
manfaatkan untuk membeli lunch, yang
seperti informasi yang saya dapat sebelumnya, memang tidak murah. Semua counter penjual makanan di sini hanya
model stand yang tidak dilengkapi
meja kursi untuk makan di tempat, jadi acara makan harus dilakukan sambil
berdiri di area hall ini atau masuk kembali untuk duduk di kursi lapangan. Saya
memilih alternatif kedua. Ketika semua pertandingan akhirnya selesai, tidak
terasa waktu sudah menjelang sore. Yang berkesan adalah pukulan forehand dan backhand Federer yang dahsyat dan suara “lenguhan” Sharapova setiap
kali memukul bola :)
Saya sempatkan singgah di gift shop
untuk membeli kaus tema Australian Open sebagai kenang-kenangan sebelum
meninggalkan stadion. Berikutnya saya akan bertemu dengan Felix, seorang teman lama
yang tinggal di salah satu area pinggiran kota Melbourne. Setelah early dinner bareng dengan menu masakan
India, kamipun berpisah karena waktu sudah menjelang malam. Di saat itulah saya
merasakan sendiri kalau ternyata benar bahwa di Melbourne bisa terjadi
pergantian empat musim dalam sehari. Waktu tunggu di stasiun yang cukup lama
untuk naik train kembali ke pusat
kota ditemani angin dingin yang berhembus cukup kencang. Dinginnya udara hari
itu hampir terasa layaknya winter di
Sydney, padahal waktu itu musim panas! Teman saya memang sempat bilang sebelum
kami berpisah, di kota ini setiap kali keluar rumah harus mempersiapkan payung,
jaket dan lain-lain karena cuaca di sini yang terkenal moody. Masalahnya waktu itu saya tidak membawa jaket tebal, dan di
stasiun kecil itu tidak ada ruangan untuk menghindar dari hembusan angin
dingin..brrrr. Jadi ketika akhirnya kereta datang, luar biasa lega rasanya.
Meskipun di dalam kereta juga ber-AC tapi tidak sedingin angin di luar.
Waktu
sampai di pusat kota, saya masih menyempatkan untuk jalan-jalan sejenak ke
Federation Square dan sekitarnya. Fed Square ini konon adalah tempat
nongkrongnya warga Melbourne, tapi malam itu cenderung sepi. Hiruk pikuk kota
metropolitan tidak terlalu terasa di sini, berbeda dengan Sydney. Di salah satu
area kota dekat Flinders Street Station, terdapat deretan sepeda yang bisa
disewakan untuk keliling kota. Cukup gesek kartu kredit dan kita bisa
jalan-jalan keliling kota dengan sepeda. Tapi ingat, wajib memakai helm. Kalau
tidak membawa helm, bisa dibeli di minimarket seperti 7 Eleven seharga $5.
Bersepeda tanpa helm illegal di sini
jadi jangan nekat mencobanya! Setelah puas jalan-jalan, sayapun kembali ke
hostel untuk beristirahat. Besok pagi masih ada acara tour ke Great Ocean Road
sekaligus hari terakhir di Melbourne. Can’t
hardly wait!
Last day in Melbourne!
Berhubung hari terakhir, hari ini harus dinikmati secara maksimal. Karena tour operator untuk ke Great Ocean Road
ini sama dengan yang ke Phillip Island, saya kembali reuni dengan John, sang
supir merangkap tour guide. Seperti hari pertama, pagi-pagi dia sudah standby di satu pick up point yang strategis untuk dicapai mayoritas peserta tour.
Setelah itu baru menjemput sisa beberapa peserta lain dan kemudian berangkat ke
tujuan. Setelah kurang lebih dua jam perjalanan, kami sempat break sebentar di tengah jalan untuk
menikmati teh/kopi panas plus biskuit. Benar-benar nikmat, sekaligus kesempatan
untuk stretching sebentar setelah
lama duduk di dalam mobil. Setelah santai sejenak, perjalanan pun dilanjutkan.
Sekitar satu jam kemudian, sampai juga kami di tempat
perhentian pertama yang disebut Gibson
Steps. Di papan informasi lokasi ini tertulis beberapa peringatan seperti:
berenang tidak dianjurkan, anak tangga untuk turun ke bawah licin, arus air
laut di sini yang kuat dan bahaya tebing yang tidak stabil. Di samping itu juga
terdapat larangan seperti membawa binatang peliharaan, membuat api unggun dan
lain-lain. Iya, tempat ini merupakan suatu tebing dengan pantai dibawahnya.
Pemandangan di sini cukup bagus, tapi tentu saja tidak akan komplit jika
jauh-jauh ke sini tidak turun ke bawah untuk menikmati pantainya. Terdapat 86
buah anak tangga yang harus dilalui untuk sampai ke bawah, jadi kalau untuk
orang tua yang punya masalah dengan kakinya mungkin tidak disarankan untuk
turun. Tempat ini diberi nama Gibson Steps karena dipercayai dulu anak tangga
di sini dibuat oleh suku setempat, yang kemudian dipelihara oleh seorang
penduduk lokal bernama Hugh Gibson. Di sini juga terdapat sebuah bongkahan baru
besar yang bisa dibilang menjadi icon tempat ini, dan menjadi sasaran jepretan
kamera. Tapi selain dari itu, tidak terlalu banyak yang bisa dilihat di sini.
|
Gibson Steps |
Tujuan berikutnya, The
Twelve Apostles alias formasi 12
buah bongkahan batu di laut yang boleh dibilang merupakan atraksi utama di
Great Ocean Road. Tempat ini merupakan bagian dari taman nasional Port Campbell
(Port Campbell National Park). Saat ini bongkahan batu yang ada tinggal 8 buah
karena faktor alam. Awalnya tempat ini bernama Sow and Piglets yang kemudian
diganti menjadi The Twelve Apostles di tahun 1950an yang mengambil dari istilah
Alkitab, yakni 12 murid Yesus. Kunjungan ke tempat ini agak spesial dan akan
menjadi kenangan seumur hidup karena disinilah untuk pertama kalinya saya
merasakan naik helikopter untuk melihat pemandangan tempat ini dari langit. Duduk
di samping pilot benar-benar strategis untuk foto-foto. Meskipun ada yang
menyebut tempat ini tidak lebih dari “sejumlah onggokan batu”, bagi saya
pribadi tempat ini cukup unik dan spesial. Kesan yang saya dapatkan dari
melihat pemandangan tempat ini dari udara sangat luar biasa, meskipun waktunya
tidak lama dan biayanya cukup mahal. It’s
all worth it!
Setelah turun kembali ke bawah, saya masih menyempatkan diri
untuk foto-foto mengambil dari angle
darat. Peserta yang memilih untuk tidak naik helikopter bisa jalan-jalan
sendiri melalui jalur darat. Setelah menghabiskan kurang lebih setengah jam di
tempat ini, kamipun melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya Loch Ard Gorge. Tempat yang hanya
berjarak sekitar 10 menit perjalanan dari Twelve Apostles ini mengambil nama
dari sebuah kapal Inggris bernama Loch Ard yang terdampar di pulau Muttonbird
Island yang lokasinya berdekatan dengan tempat ini, waktu melakukan perjalanan
ke Melbourne. Istilah gorge sendiri
berarti jurang atau ngarai kecil yang curam.
|
Twelve Apostles (or what's left of it) |
Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir jam tiga sore. Jadwal
berikutnya, lunch break. Kami dibawa
John ke sebuah cafe yang cukup besar, di dalamnya juga ada gift shop. Tapi sayangnya tidak ada menu yang menarik sehingga lunch hari itu berakhir dengan hanya
makan pancake with hot cappuccino.
Waktu makan saya sempat ngobrol sebentar dengan peserta tour lain, ada yang
berasal dari Swedia, dan ada juga yang dari Jerman. Australia memang punya daya
tarik cukup tinggi bagi traveller dari seluruh dunia. Setelah lunch kami dibawa
ke suatu kawasan hutan konservasi yang bernama Maits Rest Rainforest Walk untuk trekking singkat. Lumayan untuk membakar sedikit kalori setelah
makan siang dan untuk menyegarkan pernafasan. Dari sini kami melanjutkan
perjalanan ke Cape Patton Lookout,
suatu tempat yang cukup strategis untuk melihat pemandangan pesisir pantai
Great Ocean Road. Setelah foto-foto sebentar, perjalanan dilanjutkan ke lookout berikutnya yang bernama Mount Defiance Lookout. Pemandangan
yang bisa dilihat dari kedua lookout ini
tidak terlalu berbeda. Tapi yang menarik dari Mount Defiance adalah ada sebuah
papan yang bertuliskan tentang sejarah William Buckley, seorang napi yang
dikirimkan dari Inggris ke Australia tapi melarikan diri dan tinggal bersama
suku Aborigin di sekitar area ini selama lebih dari 30 tahun.
Berikutnya, kami berhenti di lokasi gapura yang
bertuliskan Great Ocean Road yang merupakan pintu gerbang masuk ke area rentang
jalan sepanjang 243 kilometer ini. Peserta tour diberi kesempatan untuk
mengabadikan diri berfoto dengan latar belakang gerbang ini. John seperti
sebelumnya juga, menjadi sukarelawan yang membantu kami, termasuk saya
hehe..mengambil foto di sini. Di sini juga terdapat sebuah batu peringatan
“Memorial Arch – Eastern View” yang didekasikan untuk para prajurit korban Perang
Dunia I. Great Ocean Road ini ternyata dibuat oleh para prajurit yang kembali
dari perang diantara tahun 1919 sampai 1932, dan merupakan memorial peringatan perang terbesar di dunia. Dari sini kami
singgah ke Bells Beach, pantai berikutnya yang tidak terlalu jauh berbeda
dengan pantai-pantai sebelumnya yang telah kami singgahi di sepanjang pesisir
ini. Dengan berakhirnya kunjungan di Bells Beach ini, berakhir juga petualangan
kami di Great Ocean Road. Perjalanan pun dilanjutkan kembali ke kota Melbourne.
Ketika sampai di kota Melbourne, hari sudah sore. Meskipun agak mendung, saya
putuskan untuk melanjutkan jalan-jalan sendiri di kota. Jalan-jalan sore di
pinggiran Yarra River yang melintasi kota Melbourne cukup menyegarkan, meskipun
cuaca mendung. Cuaca seperti ini memang tidak ideal, tapi at least tidak panas dan untungnya tidak ada angin dingin seperti
kemarin. Tapi lupakan soal people
watching, karena sore itu sangat sedikit orang yang lalu lalang. Area
pinggir sungai dihiasi gedung-gedung di kedua sisinya, termasuk sejumlah
bangunan pencakar langit yang cukup mencolok. Saya sempat singgah ke Melbourne
Aquarium, meskipun tidak masuk ke dalam. Menurut saya sih tidak akan berbeda
jauh dengan Sydney Aquarium yang ada di kota Sydney. Ada satu pemandangan
menarik yang saya jumpai waktu itu, yakni sebuah kapal yang mirip gondola di
Venisia sedang membawa penumpang menyusuri Yarra River.
|
Melbourne Venesia |
Belum puas menikmati
suasana Melbourne, saya putuskan untuk mengunjungi St. Kilda, sebuah suburb
berjarak sekitar 6 km di sebelah tenggara pusat kota Melbourne CBD. Kalau mau
dibandingkan, area ini mungkin mirip dengan Bondi di Sydney, karena di sini
juga merupakan lokasi pantai paling terkenal di Melbourne, St. Kilda Beach.
Luna Park, theme park lokal yang
terkenal juga ada di sini. Dengan menggunakan tram dan dihiasi dengan tanya sana-sini, akhirnya sukses juga saya
sampai ke lokasi. Tapi berhubung sudah malam, Luna Park sudah tutup dan saya
juga memutuskan untuk tidak jalan-jalan ke pantainya. Satu-satunya pilihan,
menikmati suasana St Kilda dengan berjalan menyusuri deretan cafe-cafe di
sepanjang jalan, yang masih cukup ramai. Karena ingin menikmati sedikit lebih
lanjut suasana tempat ini, saya singgah di sebuah pizzeria untuk makan pizza. Sempat sedikit canggung karena ditengah
keramaian restoran, saya satu-satunya orang Asia, dan satu-satunya yang datang sendiri!
Tapi akhirnya saya cuek saja makan pizza
sambil menikmati suasana cafe dengan segala jenis pengunjungnya. Just so you know, makanannya tidak
murah. Tapi for the sake of experience,
it’s ok. Karena tidak mau sampai
ketinggalan tram terakhir untuk
kembali ke pusat kota, saya tidak bisa terlalu lama nongkrong di sini. Saatnya kembali ke hostel untuk istirahat dan
pulang kembali ke Sydney besok pagi. It
has been three days of fun. Hope to see you again, Melbourne!
- SW -