Bandara Guilin |
Finally,
last day in China! Pagi itu kami breakfast seperti biasa dan kemudian
langsung berangkat ke bandara. Sesampai di gerbang pintu imigrasi,
antrian cukup panjang yang ternyata disebabkan adanya pembatalan pesawat ke
Korea sehari sebelumnya dan dipindahkan jadwalnya ke hari ini. Akibatnya, pagi
itu group yang kebanyakan pesertanya ibu-ibu ini sudah memenuhi gerbang antrian
check in penerbangan internasional.
Majunya ekonomi Korea pastinya juga membuat wisatawan asal Negeri Ginseng ini
semakin banyak liburan ke negara-negara lain, termasuk China. Sempat khawatir
bakal lama menunggu, tapi begitu kami sudah sampai di jalur antrian ke counter imigrasi, prosesnya berjalan
cukup cepat dan tidak lama kemudian kami sudah memasuki ruang tunggu yang cukup
besar. Di ruang tunggu ini juga ada tempat yang menjual barang seni, dan
barang-barang khas Guilin. Tapi harganya sama sekali tidak murah. Tidak lama waiting room, panggilan untuk menaiki pesawat pun terdengar. Kalau waktu
terbang dari KL ke Tianjin dulu pesawat yang dipakai oleh maskapai AirAsia
adalah Airbus 320-300, kali ini sayangnya dipakai versi yang lebih kecil, jenis
A320-200. Bad news for me. Artinya
saya harus rela memaksakan kaki saya untuk masuk ke ruang duduk yang lebih sempit.
Memikirkannya saja sudah membuat cape duluan...
Ya sudah,
daripada complain gak berguna,
mendingan coba tidur saja. Seperti alarm otomatis, saya terbangun ketika
dibagikan makan siang. Menunya ternyata sama seperti dulu, Uncle Chin’s Chicken Rice alias nasi ayam Paman Chin. Cukup enak
sih, tapi porsinya yang terlalu kecil bagi saya benar-benar tidak memuaskan. Kalau
dulu waktu di Airbus 320-300 cukup banyak penumpang yang berjalan kesana kemari
karena ruang di dalam pesawat yang lebih luas, kali ini sedikit berbeda. Tidak
ada pemandangan kaum narcissist yang
memfoto dirinya sendiri dan teman-temannya di dalam pesawat. Juga tidak ada ‘kunjungan
kekerabatan’ para penumpang kenalan yang tempat duduknya terpisah, yang
diperparah dengan acara nongkrong di gang antar tempat duduk sambil ngobrol dengan
volume yang mendekati polusi suara. Pokoknya suasana kali ini relatif adem ayem
lah dibanding waktu dulu. Bagus juga sih, jadi selama perjalanan yang memakan waktu
kurang lebih 4 jam ini lebih bisa istirahat, meskipun dengan sedikit
meringkuk di tempat duduk. Jadi tahu sendiri lah, harus bervisualisasi cukup
keras membayangkan seperti waktu tidur di spring
bed hotel yang luas dan empuk untuk bisa benar-benar tertidur.
Kebetulan di
jok kursi ada majalah internal AirAsia, jadi saya putuskan untuk baca-baca. Keuntungan
naik pesawat dari maskapai negara yang English speaking adalah, majalahnya dalam Bahasa Inggris dan bisa dibaca.
Tidak seperti waktu naik China Eastern, yang isi majalahnya 90% dalam Bahasa
Mandarin, dengan tulisan kanji. Majalah yang tebal sekalipun habis dilahap
dalam beberapa menit, soalnya cuma liat-liat gambarnya hehe...Jadi meskipun ada
satu artikel menarik tentang Mr. Linsanity alias Jeremy Lin,
pebasket keturunan
Taiwan yang sempat menghebohkan jagat NBA, saya hanya bisa mencoba memproses
sendiri isi artikel dengan menganalisa foto-foto yang ada dan beberapa tulisan
singkat dalam Bahasa Inggris. Iri juga dengan mereka yang bisa membaca tulisan
Mandarin dengan lancar. Intinya sih kesuksesan Mr. Lin langsung menjadikannya
idola kaum muda termasuk di China, dan juga panutan karena dia adalah lulusan
salah satu Universitas terbaik di dunia, Harvard.
Di majalah
AirAsia ini, ternyata cukup banyak iklan tentang atraksi wisata di Indonesia. Seperti
biasa tetap didominasi Bali, tapi ada juga iklan tentang Bandung. Tapi secara
umum promosi parawisata Indonesia masih berkutat di lokasi yang itu-itu saja.
Masih banyak potensi di seluruh Nusantara yang belum tersentuh. Contohnya saja
situs untuk diving Raja Ampat di Papua yang baru belakangan ini menjadi
terkenal. Foto tempat ini yang pernah saya lihat memang membuat saya berdecak
kagum, what a gorgeous place. Setelah
selesai baca majalah dan disertai usaha untuk tidur yang on dan off, akhirnya
pesawat tiba juga kembali di Kuala Lumpur. Begitu keluar dari pesawat
dan memastikan semua barang bawaan lengkap, kami di-briefing singkat oleh tour leader tentang tempat pertemuan untuk
nanti check-in bersama pesawat ke
Kuching. Peserta tour diberikan kebebasan untuk jalan-jalan di area bandara
mengisi waktu luang yang masih beberapa jam. Setelah berkeliling sebentar untuk
mencari sasaran lokasi makan siang, saya putuskan untuk mencoba sebuah food outlet yang menyediakan menu
campuran masakan Melayu dan India. Tempat makan ini cukup ramai, cuma sisi
minusnya tidak terhindar dari invasi lalat. Rasa makanannya sendiri standar
saja, tapi paling tidak cukup familiar untuk lidah orang Indonesia. Setelah
nongkrong cukup lama di sini, saya singgah ke sebuah cafe membeli beberapa muffin
untuk bekal di jalan. Habis itu berjalan kembali ke tempat pertemuan yang sudah
disetujui sebelumnya. Ketika semua peserta sudah terkumpul, kami langsung check in dan masuk ke dalam pesawat. Perjalanan
KL – Kuching memakan waktu kurang lebih dua jam dan ketika tiba di Kuching
waktu sudah malam. Bis sudah menunggu untuk membawa kami ke hotel.
The Lounge - Hotel Four Points Kuching |
Hotel yang kami
tinggali adalah hotel bintang empat FourPoints,
yang merupakan bagian dari jaringan hotel terkenal Sheraton. Rasa lelah dari perjalanan seharian sedikit terobati
dengan kenyamanan hotel ini. Kesan pertama yang saya dapatkan tidak jauh beda
dengan Holiday Inn Express di Shanghai, sama-sama bergaya minimalis, tapi
FourPoints lebih besar. Malam itu
situasi hotel agak lengang, mungkin karena sudah cukup larut juga. Setelah
pembagian kunci kamar selesai, kami langsung masuk ke kamar untuk istirahat.
What a day. Besok pagi kami harus naik bis untuk kembali ke Pontianak. Mendekati detik-detik terakhir perjalanan yang menyimpan cukup banyak kenangan. Sleep tight, Kuching.
What a day. Besok pagi kami harus naik bis untuk kembali ke Pontianak. Mendekati detik-detik terakhir perjalanan yang menyimpan cukup banyak kenangan. Sleep tight, Kuching.
- SW -
No comments:
Post a Comment