Another day in Beijing.
Hari ini bakal menarik sekaligus menantang karena kami akan mencoba untuk
menaklukkan Tembok Besar China! Tapi itu bukan di jadwal pertama tour. Jadwal
pertama hari ini adalah mengunjungi Temple
of Heaven, yang letaknya tidak jauh dari Hotel Peixin. Seperti biasa pagi
itu kami breakfast di hotel dulu sebelum berangkat tour. Karena jaraknya yang
cukup dekat, perjalanan naik bis ini hanya sebentar. Kuil ini merupakan tempat
Kaisar di jaman Dinasty Ming dan Qing berkunjung untuk berdoa memohon berkat
untuk panen setiap tahun. Bagian depan kuil ini merupakan area taman yang cukup
luas. Pagi itu udara cukup sejuk dan segar, di tempat ini sudah ramai dengan
para manula yang berolahraga. Menurut Ms. Eka, para manula ini rutin
berolahraga dan berkumpul di sini. Di sepanjang jalan menuju kuil ini memang
cukup banyak pemandangan menarik. Ada beberapa orang yang sedang berlatih Tai
Chi. Di suatu bagian taman, puluhan orang berkumpul untuk menarikan tarian
Tibet dengan iringan musik tradisionalnya. Setelah melewati bagian ini, kami
memasuki lorong yang merupakan jalan menuju ke area kuil. Di sepanjang lorong ini
para manula asyik bermain kartu, catur China dan berbagai permainan yang lain.
Mereka kelihatan benar-benar menikmati suasana. Jelas sekali tempat ini
merupakan surga bagi para pensiunan ini. Yang lucu, ada papan peringatan yang
bertuliskan larangan untuk merokok, tapi saya sempat melihat beberapa orang
kakek yang asyik merokok layaknya perokok kelas berat hehe...
Dari
lorong ini kami memasuki satu gerbang lagi untuk masuk ke area kuil. Area kuil
ini juga cukup luas dan terdiri dari beberapa bangunan antara lain ‘The Hall of Prayer for Good Harvest’,
yakni bangunan bundar dengan tiga tingkatan atap yang melambangkan langit,
manusia dan bumi. Bangunan ini merupakan icon yang fotonya banyak dipakai di
media promosi pariwisata China. Bangunan lain, ‘The Imperial Vault of Heaven’, bentuknya menyerupai yang pertama
tapi hanya satu tingkat dan ukurannya lebih kecil, letaknya di selatan ‘Hall of
Prayer’. Dan yang ketiga, ‘Circular
Mount Altar’. Tapi kunjungan kami kali ini hanya melihat-lihat di bangunan
yang pertama saja. Setelah puas foto-foto, yang dilengkapi dengan foto
rombongan, kamipun berjalan kembali ke pintu keluar kuil untuk berangkat ke
tujuan tour berikutnya.
Temple of Heaven |
Dari Temple of
Heaven, kami dibawa ke tempat yang mungkin cukup pas kalau dibilang pabrik batu
jade. Meskipun penampilannya seperti
toko perhiasan super luas, di tempat ini juga dilakukan pekerjaan teknis
seperti pemahatan dan pengukiran batu jade. Kita bisa melihat langsung
bagaimana batu jade dipahat dan dibentuk oleh seorang pekerja. Ada juga meja
khusus untuk mengukir batu jade yang telah kita beli, tanpa dikenakan biaya
alias gratis. Meskipun mayoritas menjual hiasan yang terbuat dari batu jade,
ada merchandise lain juga yang dijual seperti kain tenun, vas bunga, lukisan
dan lain-lain. Yang istimewa dari tempat ini adalah harga barang-barangnya. Ada
satu patung beruang salju yang ukurannya cukup mini, tapi harganya jauh dari
mini: 7800 Yuan atau sekitar Rp 11.700.000! (Yuan/Ren Min Bi (RMB) = mata uang
RRC, kurs waktu itu 1 Yuan = Rp 1500). Dan ada bola kristal yang di dalamnya
terdapat bola yang mungkin terbuat dari batu jade, berlukiskan gambar
tradisional khas China, harganya 12.000 Yuan! Masih ada barang-barang lain yang
jauh lebih mahal. Ada satu pajangan yang ukurannya cukup besar berbentuk sayur
kol yang harganya berkali-kali lipat dari ini. Saya sampai bertanya dalam hati,
emang ada yang beli? Tapi rasanya kemungkinan kecil mereka akan membuat
sedemikian banyak pajangan dari batu
jade jika tidak ada pasarnya.
Dan kalau Anda berpikir itu adalah puncaknya, think again mate. Puncak kunjungan ke istana jade ini adalah ketika kami sedang berjalan menuju pintu keluar, saya melihat sebuah kotak kaca ukuran cukup besar yang berfungsi sebagai kotak sumbangan. Saya lupa untuk sumbangan apa, tapi kotak tersebut sudah cukup penuh berisi uang kertas Yuan. Ketika sedang iseng memperhatikan kotak tersebut, saya terkesima dengan suatu pemandangan yang yang tidak lumrah. Di antara sesaknya uang kertas Yuan yang memenuhi kotak tersebut, terselip satu lembar uang kertas yang cukup familiar...yang bergambar foto diri Kapitan Pattimura! Ladies and gentlemen: jauh-jauh ke China, ada dermawan yang nyumbang Rp. 1000! (Baca: SERIBU RUPIAH) Luar biasa....
The super exclusive 'Rupiah' among Yuan |
Keluar
dari tempat ini kami menuju ke restoran untuk makan siang. Restoran ini
terletak di lantai dua dari sebuah gedung yang lantai satunya merupakan tempat
penjualan macam-macam barang pajangan/hiasan yang sangat luas. Setelah makan
siang, akhirnya kami menuju ke tempat yang sudah ditunggu-tunggu, Great Wall alias Tembok Besar China. Ketika akhirnya sampai di tempat yang letaknya
cukup jauh dari pusat kota ini, hari sudah siang menjelang sore. Agenda pertama
setelah sampai di sini, foto group. Setelah itu, bagi yang mampu atau merasa
mampu, dipersilahkan untuk mendaki tembok termahsyur ini. Menurut tokoh
legendaris Mao Ze Dong, siapa yang belum mendaki tembok China tidak bisa
menyebut dirinya pahlawan. Atribut pahlawan sih tidak terlalu saya pusingkan, tapi
berhubung sudah sampai di sini, rasanya tidak sah kalau saya tidak mencoba
untuk mendaki. Jadi saya putuskan untuk naik ke atas juga, meskipun kondisi
fisik saya waktu itu kurang begitu fit. Baru menaiki puluhan anak tangga, yang
ukurannya tidak sama besar dan ada yang sudah terkikis, kaki saya sudah mulai
terasa pegal, tapi saya putuskan untuk lanjut terus sampai mencapai area yang
cukup luas untuk beristirahat sejenak.
Dalam proses mendaki ini, saya dilewati
oleh seorang anak kecil asal Indonesia yang paling banter berusia 6 tahun.
Super junior ini masih sempat-sempatnya teriak-teriak ke Mamanya yang masih
tertinggal di bawah: “Mama...ayo kita lomba siapa dulu yang sampai ke atas.
Adek lebih cepat dari Mama, padahal Adek bawa iPhone lho!” (sambil nepuk-nepuk
kocek celananya)....Dalam hati saya: “Snob…”
Gak lama kemudian sang Mama nyusul sambil ngos-ngosan. Ok, dilewati anak kecil
arogan sama ibu-ibu...no problem...biar lambat asal selamat sampai ke atas.
Ketika akhirnya sampai di atas, rasanya sangat susah bagi saya menahan diri
untuk tidak menyanyikan lagu Hallelujah nya Handel. Cuma sayang
tidak ada iringan musik megah dan saya tidak hafal liriknya. So saya ganti saja
dengan ucapan dalam hati: “Hallelujah!”. Benar-benar lega dan puas. Sambil
mencoba untuk mengatur nafas kembali ke normal, saya maksimalkan untuk
menikmati pemandangan dari atas. Berhubung waktu itu berkabut, pemandangan yang
bisa dilihat tidak bisa dibilang indah. Pegunungan di sekitar tembok hanya
terlihat samar-samar, pemandangan di bawah juga biasa saja, bangunan dan rumah
di kaki gunung yang kurang berwarna.
The Great Wall |
Ternyata di atas sini ada pintu untuk
masuk ke suatu ruang. Mungkin tempat ini dulunya dipakai para prajurit untuk
beristirahat. Penasaran apa yang ada di dalam, saya putuskan untuk memasuki
ruang itu. Di dalam tidak ada yang istimewa, gelap dan hanya ada beberapa
jendela untuk melihat keluar. Dan ternyata, di ujung ruang ini ada pintu
keluarnya. Ternyata lagi, setelah melewati pintu keluar ini, masih ada jalan
dan ratusan anak tangga menuju puncak berikutnya! Ternyata saya baru mencapai
salah satu puncak, masih ada puncak di atas puncak!! Setelah termenung bercampur kecewa, sempat
terlintas dalam pikiran saya selama beberapa detik, tidak lama, hanya beberapa
detik: “Naik lagi gak ya?” Tapi segera niat itu saya buang jauh-jauh menimbang
kondisi kaki dan badan yang sudah tidak bisa diajak kerja sama. Yah, paling
tidak saya mencapai salah satu puncak. Dari rombongan tour kami tidak ada
satupun yang naik sejauh ini, maklum..rata-rata sudah lansia. Belum selesai
saya menghibur diri, tiba-tiba rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu dari tour kami
sudah menyusul ke atas. Salah satu dari bapak-bapak
ini adalah seorang kakek berusia 82 tahun! Rasa bangga pun pudar...dan kemudian
hilang sama sekali ditelan bumi...ketika dari puncak berikutnya di
atas, seorang wanita bule turun sambil menggendong bayi perempuannya....
My pride...completely gone... |
Daripada
meratap, saya putuskan untuk menikmati suasana di puncak sambil menghirup udara
pegunungan yang segar...ehm...dingin...ternyata sebelum mencapai anak tangga
untuk naik ke puncak berikutnya..ada turunan menuju ke sebuah gift shop. Saya putuskan untuk turun ke
sana melihat-lihat. Gift shop ini ukurannya tidak terlalu besar, tapi ada
beberapa meja dan bangku untuk beristirahat. Di sini kita bisa membeli medali
“emas” yang bisa diukir nama kita untuk kenang-kenangan mencapai puncak. Ada
juga model penghargaan lain berupa plat nama warna emas. Selain itu juga dijual
aneka macam merchandise bertema
Tembok Besar. Saya putuskan untuk beli t-shirt seharga 40 Yuan, atau sekitar Rp
60 ribu. Not exactly cheap, but it’s ok lah, udah naik sejauh ini.
Iseng-iseng untuk konfirmasi saja, saya bertanya ke salah satu penjaga toko:
“Kalian setiap pagi naik ke sini untuk jaga toko?”. Dia menjawab dengan enteng:
“Iya.”. Saya cuma bisa nelan ludah.. (sekedar info, semua penjaga tokonya
wanita)
Dari sini
dimulailah perjalanan untuk menuruni tembok. Seperti yang saya bilang
sebelumnya, ukuran anak tangga yang besar kecil bercampur rusak bisa sangat
membahayakan jika kita tidak hati-hati. Jadi pelan-pelan saya menuruni tembok
sampai mencapai satu area penghubung antar anak tangga yang cukup luas untuk
beristirahat atau foto-foto. Saya putuskan untuk break beberapa menit di sini
sebelum turun lagi. Saya perhatikan di dinding tembok ternyata banyak “karya
seni”, coretan-coretan pen, spidol dan sejenisnya sebagai tanda yang
bersangkutan pernah singgah ke Tembok Besar. Kebetulan di dekat tempat saya
berdiri ada yang ditulis dengan huruf Korea disertai tanggal 2011.10.15 – 15
Oktober 2011. Korean vandals! Dasar
perusak! Kemudian..persis di bawahnya...dengan huruf yang lebih
besar..tertulis: 28-05-2011 SUKABUMI...Saya langsung speechless....Sudahlah..daripada mikirin para vandal ini..nobody cares
anyway...lebih baik saya manfaatin waktu dan tenaga untuk foto-foto saja.
Setelah puas foto-foto, saya pun berjalan turun untuk bergabung kembali dengan
rombongan tour.
'Prasasti' turis Indonesia di Great Wall |
Waktu sudah semakin sore dan berikutnya makan malam terakhir
kami di kota Beijing adalah menunya yang sudah termahsyur: Beijing Kao Ya alias Bebek Panggang Beijing. Saya bukan penggemar
berat daging bebek, tapi tetap harus mencoba yang satu ini. Di Indonesia juga
ada, tapi beda lah kalau makan di tempat asalnya. Tapi sebelum dinner kami
dibawa dulu ke Jalan Wangfujing - Pasar Malam Donghuamen. Ketika sampai
di tempat ini hari sudah malam. Di area ini
terdapat deretan pertokoan, dan di seberang jalan terdapat sederetan panjang
stand yang menjual segala jenis makanan. Saya sempat mencoba ikan bakarnya,
yang sayangnya..terlalu asin. Suasana di sini cukup menarik, pengunjung ramai
dan lampu warna-warni menghiasi sepanjang jalan. Dari sini kami dibawa ke ‘The
Great Wall Restaurant’ untuk makan malam. Mungkin karena malam terakhir, kami
diberi ruang khusus dan menu yang disajikan juga lebih spesial, selain bebek
panggang. Pokoknya makan malam yang cukup memuaskan. Tapi berhubung saya bukan
master chef ataupun pakar kuliner, saya gak bisa komentar banyak soal rasa
bebek panggang resep original Beijing. Yang jelas daging yang diiris tipis ini
memang rasanya sangat kaya, atau istilah Inggrisnya ‘rich flavour’. Setelah kenyang makan malam, kami pun pulang kembali
ke hotel untuk beristirahat. Besok pagi-pagi sudah harus bangun karena akan berangkat
ke Shanghai dengan bullet train
(kereta cepat) yang pertama. Tidak terasa, selesai sudah perjalanan di Beijing.
Cukup banyak kenangan selama di kota ini, meskipun singgah tidak lama. I will miss this city indeed. Good night
Beijing, and goodbye. Sampai ketemu lagi di perjalanan berikutnya. I’m sure we’ll see each other again!
Wangfujing Street |
- SW -
No comments:
Post a Comment